NAWAKSARA-Soekarno, NAWACITA-Jokowi, NAWAGAGAL- Realitas

Mari kita balik ke belakang sejenak, 22 Juni 1966. Waktu itu, Presiden Soekanro menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan Majeslis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seperti pidato-pidato sebelumnya, Soekarno selalu ingin memberikan judul atau nama yang menarik untuk pidatonya. Pidato kali ini pun beliau beri nama. Soekarno menyebutnya “Nawaksara”. Arti singkatnya adalah “Sembilan Poin” atau “Sembilan Pasal”.

Nawaksara adalah gabungan dua kata Sanskerta; “nawa” artinya “sembilan” dan “aksara” diartikan oleh Soekarno sebagai “pasal”. Arti “aksara” yang lebih cocok adalah “huruf” atau “abjad”. Tanpa harus berdebat di sini, kita terima saja “Nawaksara” itu berarti “Sembilan Pasal”.

Dan memang ada sembilan hal yang diuraikan Bung Karno di depan MPRS. Suasana politik waktu itu cukup tegang, tentunya. Belum sampai setahun peristiwa pemberontakan PKI, Gerakan 30 September 1965 (G-30-S/PKI). Yaitu, peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang kapten oleh PKI.

Nawaksara yang dijelaskan oleh Soekano itu antara lain adalah “retrospeksi” (kenangan balik). Inilah “nawa” (pasal) pertama. Yaitu, tentang pengertian Pemimpin Besar Revolusi; pengertian Mandataris MPRS; dan pengertian Presiden Seumur Hidup. Seolah-olah Bung Karno “mengkritik” MPRS yang memberikan gelar-gelar itu kepada beliau.

Kemudian, Bung Karno menyinggung soal landasan kerja untuk pembangunan. Seterusnya ada pasal mengenai Demokrasi Terpimpin, Wewenang MPR dan MPRS, dlsb. Singkatnya, pidato politik presiden pertama ini sangat memukau. Beliau memang great orator, great speaker.

Poin yang ingin saya katakan terkait Nawaksara adalah bahwa meskipun MPRS menolak pidato pertanggungjawaban itu, tetapi kehebatan Bung Karno tetap melekat pada namanya. Nawaksara adalah salah satu pidato hebat yang ia sampaikan.

Hampir 50 tahun kemudian, tepatnya semasa kampanye Pilpres 2014, Jokowi muncul dengan istilah (jargon) yang juga menggunakan kata “nawa”. Jokowi menyebutnya “Nawacita”. Tak ada yang tahu apakah Jokowi ingin meniru-niru Soekarno atau tidak. Wallahu a’lam.

Nawacita yang disebutkan Jokowi berarti “sembilan program” (bisa jadi maksudnya “sembilan cita-cita”. Berikut ini versi singkat Nawacita yang dibeberkam Jokowi semasa kampanye Pilpres 2014.

Yaitu,
(1)Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; (2)Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya; (3)Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; (4)Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; (5)Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan; (6)Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; (7)Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor sektor strategis ekonomi domestic; (8)Melakukan revolusi karakter bangsa; (9)Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Nawaksara Soekarno ditolak oleh MPRS. Sekarang, bagaimana dengan Nawacita Jokowi? Sudahkah ada “pertanda” berhasil?

Memang tidak fair kalau Nawacita Jokowi itu dinilai dalam waktu 2.5 tahun. Tetapi, beberapa “cita” seharusnya bisa menunjukkan hasilnya sekarang ini.

Kita simak satu per satu. Supaya tidak “lost in translation”, mohon Anda rujuk ke tiap “cita” yang disebutkan di atas untuk menautkannya dengan penjelasan berikut ini.

Cita 1: kayaknya gagal. Sebab, banyak warga negara merasa tidak aman dan tak terlindungi. Cita 2: juga belum bisa disebut sukses. Sebab, masih banyak yang tidk bersih, tak efektif, bahkan tidak demokratis. Cita 3: ada kemajuan di kawasan pedesaan tetapi tidak banyak berbeda dengan “cita-cita” SBY. Selanjutnya Cita 4: kelihatannya Anda tidak perlu waktu lama untuk membuat kesimpulan “belum berhasil”.

Cita 5: juga belum memperlihatkan gelagat sukses padahal target pencapaian tahun 2019. Sebab, kualitas hidup mayoritas (kecuali the Rich Club) rakyat tidak berubah; bahkan banyak yang mengaku makin parah. Kemudian Cita 6: jelas tidak terbukti. Sebab, “hobi” mengimpor masih belum terasa bosan. Cita 7: bukan saja gagal tetapi juga menyedihkan. Sebab, SDA Indonesia boleh dikatakan sangat banyak diserahkan kepada orang asing. Kemandirian ekonomi bukan cita-cita melainkan hayalan.

Cita 8: gagal. Sebab, karakter yang berkembang subur adalah watak cinta tanah air (patriotisme) “sumbu pendek”. Insiden kecil bendera terbalik saja diprotes dengan cara-cara yang tak menunjukkan keberadaban bangsa. Sebaliknya yang tampak adalah gaya premanisme yang intimidatif.

Cita 9: absurd, tidak perlu ada. Sebab, orang Indonesia dari semua suku bangsa dan kaum adat, sudah sangat paham menghormati kebinekaan. Dari dulu tidak pernah ada masalah dengan keberagaman.

Jadi, secara keseluruhan, Nawacita Jokowi mengalami masalah besar. Tak sampai hati rasanya untuk disebut “gagal”. Tetapi, kalaupun ada diantara Anda yang menyimpulkannya sebagai “Nawagagal”, saya katakan (maaf Pak Jokowi) bahwa memang begitulah realitas yang ada.(emen)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button