Jejak Fulus Menteri di Tanjung Buli : Mendag Agus & Seskab Pramono Anung

Oleh : Haidar Alwi Institute (HAI)

 

Mantan Komisaris PT Yudistira Bumi Bhakti, Yulius Isyudianto dan kawan-kawan akhirnya membongkar keterlibatan Menteri Perdagangan (Mendag), Agus Suparmanto dan Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung dalam kisruh proyek pengerukan bijih nikel di Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara.

Perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Mendag Agus Suparmanto dan Seskab Pramono Anung itu mendapatkan proyek tersebut dari PT Aneka Tambang (Antam) sejak tahun 2001 sampai 2014.

Seteru antar kolega bisnis itu tidak hanya menyisakan kerusakan lingkungan yang masif di Tanjung Buli, tapi juga menyingkap tabir dugaan penggelembungan nilai proyek dengan kentungan fantastis hingga Rp 2,9 Trilliun.

Awalnya, pada tahun 1999 Rafli Ananta Murad dan Sardjono mengajak Yulius Isyudianto untuk mengikuti tender pengerukan bijih nikel di Tanjung Buli yang ditawarkan Antam. Area seluas 2.340 hektare di Tanjung Buli diklaim memiliki cadangan nikel sebanyak 220 juta ton nikel basah (WMT – Wet Metric Ton), terbesar ke-dua setelah Sulawesi Tenggara yang dimiliki Antam.

Walaupun Rafli Ananta Murad dan Sardjono berpengalaman dalam urusan tender di PT Aneka Tambang, mereka tidak punya perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan. Sedangkan Yulius Isyudianto dan Pramono Anung mempunyai PT Yudistira Bumi Bhakti yang usahanya bergerak di bidang tersebut, hanya saja mereka tidak cukup modal.

Rafli Ananta Murad dan Yulius Isyudianto lalu menghubungi Miming Leonardo, pemilik PT Surya Labuan Sari yang juga mengenal Agus Suparmanto tatkala berkibar dengan usaha percetakan dan properti melalui PT Mitrasysta Nusantara. Setelah mendengar peluang cukup besar untuk memenangkan tender tersebut, Agus Suparmanto setuju mengucurkan modal awal sebesar USD 6 Juta atau Rp 58 Milliar dengan kurs waktu itu Rp 9.600 per USD.

Meski baru pertama kali mengikuti lelang Antam, PT Yudistira Bumi Bhakti dinyatakan menang, mengalahkan PT Minerina Bhakti anak usaha Dana Pensiun Antam; dan PT Kasuari anak usaha PT Intraco Penta yang berpengalaman mengerjakan proyek-proyek pengerukan bijih tambang. Harga yang diajukan PT Yudistira Bumi Bhakti kala itu adalah USD 8,47 per WMT dari pengerukan hingga pengiriman ke kapal untuk ekspor.

Rafli Ananta Murad menduga kemenangan PT Yudistira Bumi Bhakti dalam tender itu disebabkan oleh adanya nama Pramono Anung dalam jajaran pemilik perusahaan.

Direktur Utama Antam saat itu, Dedi Aditya mengatakan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam menunjuk perusahaan Pramono Anung sebagai pemenang tender. Satu di antaranya yakni harga penawaran. Walaupun tergolong tinggi USD 8,47 per WMT dari harga normal sebesar USD 8,35, tapi PT Yudistira Bumi Bhakti disebut berupaya melakukan reklamasi, konservasi dan pembebasan lahan.

Setelah proyek diamankan, pengendali perusahaan mulai berembuk membagi saham dan keuntungan proyek. Agus Suparmanto dan Miming Leonardo disepakati mendapat 70% keuntungan, Yulius Isyudianto dan Pramono Anung kebagian 10%. Sedangkan sisanya dibagi untuk para pemrakarsa lainnya. Syaratnya, seluruh saham Pramono Anung diserahkan kepada Miming Leonardo dan Juandy Tanumihardja yang menjadi pelaksana proyek. Menurut Yulius Isyudianto, syarat ini adalah berdasarkan permintaan dari Agus Suparmanto.

Aktivitas pengerukan bijih nikel di Tanjung Buli pun dimulai pada tahun 2001 dan kontraknya akan sudah berakhir pada 18 Juli 2004. Akan tetapi hingga jangka kontrak mendekati batas akhirnya, Antam tak kunjung melakukan tender ulang. Direktur Utama Antam saat itu, Dedi Aditya malah melakukan penunjukan langsung terhadap PT Yudistira Bumi Bhakti untuk meneruskan proyek sampai 18 Juli 2007.

Penunjukan kembali PT Yudistira Bumi Bhakti disebut Dedi Aditya berlandaskan pertimbangan bisnis antara lain untuk menghemat waktu dan menghindari potensi kehilangan keuntungan perusahaan karena proses lelang tender memakan waktu 4-6 bulan.

Masalahnya, penunjukan langsung kepada PT Yudistira Bumi Bhakti tidak berhenti sampai di situ, tapi berlanjut pada kontrak berikutnya, bahkan hingga Dedi Aditya digantikan Alwinsyah Lubis sebagai Direktur Utama pada 2008. Sama seperti pendahulunya, Alwinsyah Lubis juga menunjuk langsung PT Yudistira Bumi Bhakti untuk kontrak berikutnya sampai 2014.

Penunjukan langsung pada tahun 2004-2010 tidak sesuai dengan Pasal 17 Ayat 5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah. Sedangkan penunjukan langsung tahun 2012 tidak sesuai dengan Pasal 38 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah.

Selain itu, Yulius Isyudianto juga mengungkap bahwa sejak awal harga yang mereka ajukan terkait proyek pengerukan bijih nikel di Tanjung Buli sudah dikatrol setinggi mungkin. Tidak hanya pada awal kontrak tahun 2001 tapi juga periode selanjutnya. Ini terlihat pada harga kontrak 2007-2009, yakni USD 22,9 per WMT. Padahal, harga proyek yang sama di sekitarnya saat itu hanya sebesar USD 11 per WMT.

Perihal dugaan mark-up harga dikonfirmasi oleh auditor internal Antam yang menyurati direksi pada tahun 2009. Auditor internal Antam menemukan konsumsi bahan bakar mesin dan kapal-kapal PT Yudistira Bumi Bhakti tagihannya lebih tinggi dari realisasi lapangan ketika diperiksa oleh tim audit.

Pada realisasi 2007 dan 2008, auditor internal menemukan tagihan konsumsi bahan bakar untuk penambangan dan pengapalan berjumlah 13,77 liter per ton. Padahal, realisasi lapangan hanya 2,81 liter per ton untuk penambangan dan 2,9 liter per ton untuk pengapalan. Dengan demikian, terdapat selisih 8,06 liter per ton. Sepanjang periode 2007-2008, PT Yudistira Bumi Bhakti menambang dan mengapalkan 3 juta ton bijih nikel.

Proyek PT Yudistira Bumi Bhakti berjalan mulus hingga menjelang berakhirnya kontrak dengan Antam di Tanjung Buli. Pada tahun 2013, Rafli Ananta Murad dan Yulius Isyudianto menagih jatah mereka seperti dalam kesepakatan awal. Dari perhitungan mereka, pendapatan PT Yudistira Bumi Bhakti dari proyek tersebut 2001-2012 mencapai Rp 7 Trilliun. Sedangkan keuntungan bersih diperkirakan mencapai USD 280 Juta atau setara Rp 2,7 Trilliun. Artinya, di luar jatah Agus Suparmanto, Yulius Isyudianto dan komisaris lainnya berhak mendapatkan Rp 1 Trilliun.

Namun, Agus Suparmanto selalu mengelak ketika disinggung soal pembagian jatah itu. Habis kesabaran menagih haknya, Rafli Ananta Murad dan Yulius Isyudianto kemudian menyewa pengacara untuk mensomasi Agus Suparmanto. Upaya somasi pun berakhir sia-sia, tak mempan. Pada tahun 2013, Yulius Isyudianto melaporkan Agus Suparmanto ke polisi dengan tuduhan penipuan dan penggelapan uang perusahaan.

Menurut Rafli Ananta Murad, sempat tersiar kabar bahwa Agus Suparmanto, Miming Leonardo dan Juandy Tanumihardja sudah hendak dijadikan Tersangka. Diduga karenanya, Agus Suparmanto mengontak Yulius Isyudianto untuk berdamai hingga terjadi pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, pada Maret 2014.

Dalam pertemuan itu, Agus Suparmanto disebut menawarkan uang Rp 500 Milliar asalkan Yulius Isyudianto bersedia mencabut laporannya ke polisi. Sebagai komitmen atas perdamaian, Agus Suparmanto memberikan uang muka Rp 30 Milliar.

Menurut Rafli Ananta Murad, Pramono Anung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI meminta Yulius Isyudianto menerima tawaran damai Agus Suparmanto supaya tidak terjadi kegaduhan. Apalagi, dalam waktu dekat akan dilaksanakan pemilihan Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK, yang mana Pramono Anung akhirnya terpilih sebagai Sekretaris Kabinet.

Kesepakatan pun dibuat di depan notaris Djumini Sertyohadi dengan ditandatangani oleh para pemegang saham lainnya. Akan tetapi tak tertulis bahwa Agus Suparmanto akan membayar Rp 500 Milliar seperti yang dijanjikannya secara lisan. Sadar belakangan perjanjian damai itu merugikan, Rafli Ananta Murad dan Yulius Isyudianto kembali melaporkan Agus Suparmanto dengan pasal yang sama pada Januari 2020.

Alasannya, selama 7 tahun menagih, Agus Suparmanto selalu mengelak atau tidak mengakui nota perdamaian tahun 2013. Ironisnya, polisi berpatokan pada nota tersebut untuk menghentikan penyelidikan terkait laporan ke-dua Yulius Isyudianto.

Pada tahun 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadikan kejanggalan kontrak PT Yudistira Bumi Bhakti sebagai temuan audit. BPK menyoroti nilai Aset perusahaan tersebut yang terlalu kecil yakni Rp 13,7 Milliar sehingga dianggap berpotensi merugikan Antam. Catatan BPK kala itu adalah Antam tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyusun kontrak kerjasama.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum diharapkan melakukan penyelidikan mendalam untuk mengungkap adanya potensi kerugian negara dalam hal ini BUMN Antam dalam proyek bijih nikel PT Yudistira Bumi Bhakti di Tanjung Buli. Apalagi, kasus ini menyeret nama pejabat negara Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto dari PKB dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung dari PDIP yang saat ini berada di lingkaran kekuasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button