
Oleh: Ilham Saleh
Pimpinan Redaksi MalutNews.com
Selama beberapa tahun terakhir, Maluku Utara kerap disebut sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Laporan resmi mencatat angka yang impresif, terutama didorong oleh sektor pertambangan dan industri pengolahan nikel. Di atas kertas, Maluku Utara tampak sedang menikmati masa keemasan ekonomi.
Namun, di balik angka pertumbuhan yang gemilang itu, terselip kenyataan pahit: kesejahteraan masyarakat tidak tumbuh secepat ekonomi daerahnya. Di berbagai wilayah, terutama di luar kawasan industri, masyarakat masih berjuang dengan harga bahan pokok yang tinggi, keterbatasan lapangan kerja, dan minimnya akses terhadap layanan publik yang memadai.
Ironisnya, geliat investasi besar belum sepenuhnya menghidupkan ekonomi rakyat. Sektor tambang yang menjadi motor pertumbuhan, sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan besar dari luar daerah. Sementara pelaku usaha lokal, petani, dan nelayan hanya menjadi penonton dari laju investasi yang menjanjikan.
Pemerintah daerah perlu memandang serius kesenjangan ini. Pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan hanya akan menimbulkan jurang sosial yang makin lebar. Investasi harus diikuti dengan kebijakan hilirisasi yang berpihak pada masyarakat lokal, penciptaan lapangan kerja yang layak, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia agar warga Maluku Utara tidak hanya menjadi pekerja kasar di tanahnya sendiri.
Media, akademisi, dan masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam mengawal arah pembangunan ekonomi agar tetap berpihak pada rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang sejati bukan diukur dari seberapa besar angka PDRB, tetapi dari seberapa banyak masyarakat yang benar-benar merasakan manfaatnya.
Kini, saatnya Maluku Utara bergerak menuju pertumbuhan yang inklusif — pertumbuhan yang tidak hanya membuat grafik ekonomi naik, tetapi juga mengangkat martabat hidup rakyatnya. Karena kemajuan tanpa kesejahteraan hanyalah ilusi angka di atas laporan statistik.