Oktober 23, 2025
IMG-20251008-WA0008

Tidore Kepulauan,  – Empat bulan berlalu sejak jembatan Yef di Dusun Yef, Desa Sigela, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan (Tikep), Maluku Utara, ambruk diterjang longsor akibat hujan lebat pada awal Juni 2025. Jembatan vital yang menghubungkan Kecamatan Oba dan Oba Selatan ini telah menyisakan duka mendalam bagi ratusan warga. Tanpa solusi permanen dari pemerintah, jalan darurat berbayar menjadi beban baru, diperparah risiko banjir dan kecelakaan yang mengintai setiap hari.

Jembatan Yef, infrastruktur tua peninggalan era 1970-an, adalah jalur provinsi krusial yang menghubungkan Desa Sigela ke wilayah Oba Selatan, termasuk Payahe dan Dehepodo. Runtuhnya jembatan ini memutus akses utama, memaksa warga beralih ke jalan darurat yang melintasi lahan pribadi milik Wahyudi Malagapi di sisi utara dan Hi. Dullah di sisi selatan. Namun, harapan sementara ini justru menambah penderitaan: setiap kendaraan—dari sepeda motor hingga mobil—dipungut Rp20.000 sebagai “tanda tol” oleh pemilik lahan, tanpa fasilitas memadai seperti penerangan atau perkerasan jalan.

“Sudah dua bulan kami hidup seperti terkurung. Pemerintah diam, janji tinggal janji,” keluh seorang warga Sigela yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Jalan darurat ini, dengan portal kayu sederhana sebagai pintu masuk, menjadi satu-satunya pilihan bagi warga untuk beraktivitas. Namun, saat musim hujan tiba, seperti yang terjadi akhir pekan lalu, banjir sungai merendam jalur hingga setinggi pinggang, memaksa warga dan pemuda setempat gotong royong mengangkut kendaraan di tengah arus deras—dengan tetap membayar Rp20.000 per kendaraan.

Ardi, pengendara roda dua asal Oba Selatan, menceritakan pengalaman pahitnya.

“Hujan deras kemarin bikin jalan banjir parah. Saya harus dibantu warga untuk menyeberangkan motor, basah kuyup, tapi tetap bayar. Jalanan licin, sempit, gelap malam hari. Setiap hari rasanya seperti taruhan nyawa,” ujarnya dengan nada frustrasi.

Ia menambahkan, banyak warga khawatir akan kecelakaan, terutama di malam hari tanpa penerangan.

Pemilik lahan juga menyuarakan keluh kesah. Wahyudi Malagapi, yang mengizinkan lahannya digunakan sebagai jalan darurat, merasa “diperdaya” oleh pemerintah.

“Kami buka lahan ini untuk membantu masyarakat, tapi negosiasi pembebasan lahan mandek. Pemerintah kota cuma kirim dua orang untuk bicara, lalu hilang kabar. Janji bayar lahan tak kunjung terealisasi,” ungkapnya.

Senada, Hi. Dullah, pemilik lahan di sisi selatan, menyebutkan bahwa pungutan Rp20.000 adalah upaya bertahan hidup karena lahan mereka terdampak tanpa kompensasi.

Pemerintah Kota Tidore Kepulauan mengklaim telah berupaya. Camat Oba, Safrudin Nasir, menyatakan bahwa Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Kota telah berkoordinasi dengan PUPR Provinsi Maluku Utara sejak longsor terjadi.

“Kami sudah laporkan ke BPBD dan provinsi. Wakil Gubernur dan tim balai pernah tinjau lokasi, tapi belum ada tindakan konkret,” katanya.

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, pada Agustus 2025 memerintahkan asesmen dan penanganan darurat, namun hingga kini warga belum melihat kemajuan nyata.

Kepala Desa Sigela, Amir Nasir, menyoroti dampak sosial-ekonomi yang kian parah.

“Anak-anak terlambat sekolah, petani kesulitan mengangkut hasil panen, dan warga merasa terisolasi, terutama saat musim hujan. Gotong royong warga dan pemuda sangat membantu, tapi ini bukan solusi permanen. Kami butuh jembatan baru, bukan janji kosong,” tegasnya.

Cuaca ekstrem yang melanda Maluku Utara sejak Juni 2025 menjadi pemicu utama longsor dan banjir di wilayah ini. Namun, warga menilai lambannya respons pemerintah memperburuk situasi.

“Kalau hujan deras lagi, kami takut ada korban jiwa. Sudah saatnya pemerintah bertindak, bukan cuma kunjungan seremonial,” ujar Ardi.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi terbaru dari PUPR Provinsi Maluku Utara terkait jadwal perbaikan jembatan. Warga Oba dan Oba Selatan kini hanya bisa berharap agar pembebasan lahan dan pembangunan jembatan baru segera terwujud, mengakhiri penderitaan harian yang telah berlangsung terlalu lama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *